BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penggunaan bahasa yang benar menurut kaidah
EYD merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam hal
tulis-menulis. Pemilihan kata berhubungan erat dengan kaidah sintaksis, kaidah
makna, kaidah hubungan sosial, dan kaidah mengarang. Kaidah-kaidah ini saling
mendukung sehingga tulisan menjadi lebih berstruktur dan bernilai serta
lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh orang lain. Namun pada kenyataannya, masih banyak kesalahan pada penggunaan
bahasa yang disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap hakikat penggunaan
bahasa yang benar menurut EYD. Kesalahan – kesalahan tersebut meliputi
kesalahan ejaan dan kesalahan penggunaan kalimat. Kesalahan penggunaan ejaan
maupun kalimat dapat ditemukan di berbagai media cetak, seperti undangan,
spanduk, surat dinas, majalah, dan juga selebaran iklan ataupun pengumuman yang
sering ditempelkan di berbagai tempat. Pada penulisan makalah ini, penulis
memberi perhatian lebih terhadap kesalahan ejaan dan kesalahan kalimat pada media
ruang yang terdapat di ruang publik.
Dengan latar belakang masalah tersebut, penulis mencoba untuk mengamati
kesalahan penggunaan bahasa Indonesia khususnya pada media
di ruang
publik. Pada penelitian ini, penulis
akan meneliti lebih dalam mengenai kesalahan penggunaan ejaan dan kesalahan
penggunaan struktur kalimat dengan memotret dan
mengkoreksi kesalahan tersebut. Berdasarkan kenyataan di atas, judul makalah ini adalah, “Memotret
Kesalahan bahasa pada ruang publik”.
B.
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1)
Bagaimanakah kesalahan ejaan pada ruang publik?
2)
Bagaimanakah kesalahan kalimat pada ruang publik?
C. Tujuan
Tujuan –
tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)
Mendeskripsikan kesalahan ejaan pada ruang publik;
2)
Mendeskripsikan kesalahan kalimat pada ruang publik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Materi Kasus
Salah
satu butir Sumpah Pemuda menyebutkan bahwa para pemuda Indonesia “menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Dengan demikian, sejak 85 tahun yang lalu
bahasa Indonesia telah menjadi satu-satunya bahasa yang diharapkan mampu
mempersatukan berbagai macam suku bangsa di negara ini, yang masing-masing
memiliki bahasa daerah yang beragam. Dampaknya sungguh luar biasa! Para pemuda
dari berbagai daerah dapat membulatkan tekat dengan satu bahasa untuk berjuang
meraih kemerdekaan.
Selanjutnya
bahasa Indonesia tidak hanya berperan menjadi bahasa persatuan, namun kemudian
berkembang menjadi bahasa negara, bahasa nasional, maupun bahasa resmi. Bahkan
bahasa Indonesia kemudian berhasil mendudukkan dirinya menjadi bahasa budaya
dan bahasa ilmu ilmu pengetahuan. Dengan begitu, bahasa Indonesia memiliki
makna dan peran penting bagi bangsa Indonesia.
Berdasarkan
kenyataan yang demikian, pastinya kita sebagai bangsa Indonesia pantas (bahkan
wajib) bangga telah memiliki bahasa Indonesia. Apalagi bila kita melihat
kenyataan yang ada, masih banyak bangsa atau negara yang tidak memiliki bahasa
nasionalnya sendiri sebagai bahasa yang resmi digunakan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Negara
Singapura dan Brunei Darussalam menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
nasional dan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi. Australia, Selandia Baru, dan
Papua Nugini menggunakan bahasa Inggris. Austria berbahasa resmi bahasa Jerman.
Belgia sampai saat ini menggunakan dua bahasa resmi, yaitu bahasa Prancis dan
bahasa Belanda, yang keduanya bukan bahasa asli mereka. Swiss bahkan “terpaksa”
menggunakan empat bahasa sekaligus, yaitu bahasa Jerman, Prancis, Inggris, dan
Roma, yang keempatnya juga bukan bahasa sendiri. Sedangkan Kanada menetapkan
dua bahasa resmi, yaitu bahasa Inggris dan Prancis, yang keduanya bukan pula
bahasa mereka. Bahkan Amerika Serikat yang merupakan negara adikuasa, juga
tidak mempunyai bahasa sendiri untuk dijadikan bahasa nasional maupun bahasa
resmi. Negara ini menggunakan bahasa Inggris dan Spanyol (Sumber:
Negara dan Bangsa, Grolier International 1999).
Dengan
memiliki bahasa sendiri sebagai bahasa nasional, seharusnya bangsa Indonesia
bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Sudahkah bangsa
ini bangga dengan bahasanya sendiri? Kenyataan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
tidaklah demikian. Rasa cinta dan bangga terhadap bahasa Indonesia belum
tertanam kuat pada setiap insan Indonesia. Simak saja perlakuan siswa di
sekolah terhadap pelajaran bahasa. Sebagian dari mereka tentu lebih
mengutamakan mempelajari bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia.
Barangkali
bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang tidak perlu dipelajari karena
sebagai bahasa sendiri, bahasa Indonesia sudah pasti mampu dikuasai tanpa harus
dengan serius belajar. Dalam kegiatan diskusi keilmuan pun demikian, sering
dijumpai pembicara yang lebih banyak menggunakan istilah asing daripada istilah
dalam bahasa Indonesia. Barangkali mereka menganggap bahwa bahasa asing lebih
tinggi derajatnya daripada bahasa Indonesia. Atau bisa juga bahasa Indonesia
dianggap kurang ilmiah dan kurang intelek dibandingkan dengan bahasa asing.
Kenyataannya, hampir seluruh lapisan masyarakat seolah berlomba-lomba
menggunakan istilah-istilah dari bahasa Inggris, meski sebetulnya istilah
bahasa Inggris yang mereka gunakan tidak beraturan.
Maraknya
penggunaan bahasa asing dalam masyarakat sesungguhnya tidak lepas dari
pandangan sebagian masyarakat yang menganggap bahasa asing memiliki gengsi
lebih tinggi dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Dengan menggunakan bahasa
Inggris, pembicara atau pemakai bahasa dianggap terlihat lebih gagah, modern,
dan terdidik. Hanya saja tidak jarang pemakai bahasa tersebut tidak paham betul
dengan kosa ataupun ejaan kata asing (Inggris) yang dipakai. Bagi mereka yang
penting terlihat gagah karena telah menggunakan bahasa asing (Inggris). Karena
itulah, mereka tak lagi memperhatikan aturan penulisan ejaan maupun
pengucapannya.
Kesadaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar
sangat dibutuhkan terutama saat menggunakannya di ruang publik. Sebuah papan
peringatan atau penanda tertentu harus mematuhi kaidah bahasa, karena ia tidak
berhadapan dengan suatu kelompok spesifik yang menuntut konvensi berbeda,
misalnya; bahasa nonformal/tak resmi seperti ke sesama teman.
B.
Potret kasus
Kami menemukan beberapa penerapan bahasa Indonesia
yang tidak sesuai kaidah di ruang publik; yang seharusnya menjadi tempat
penerapan kaidah Bahasa Indonesia sesuai Ejaan yang Disempurnakan (EYD).
Berikut contoh-contoh kesalahan berbahasa pada ruang publik :
Pemilik sebuah rumah di Utan Kayu, Jakarta memasang pengumuman ini. Dalam
kaidah EYD, penggunaan kata “di” yang dipisah berfungsi sebagai preposisi (kata
depan) yang menerangkan [biasa] tempat atau waktu; “di tengah hari”, “di
Jakarta”, “di rumah”.
Penggunaan kata “di” banyak ‘dikacaukan’ karena
mereka menganggap fungsinya sama saja. Pada kasus ini, “Di Jual” seharusnya
ditulis bersambung, “dijual”, karena maksudnya sebagai prefiks/awalan pasif
demi menerangkan bahwa “rumah tersebut dijual”.
Bisa dibayangkan kalau ada benar-benar tempat bernama “Jual”, lalu Anda menyangka “rumah orang ini di Jual.” “Oh, kami tahu sekarang rumahnya di mana.”
Bisa dibayangkan kalau ada benar-benar tempat bernama “Jual”, lalu Anda menyangka “rumah orang ini di Jual.” “Oh, kami tahu sekarang rumahnya di mana.”
Kata “mas” di toko tersebut masih berada pada ragam nonformal. Sebaiknya kata “emas” lebih tepat digunakan untuk menerangkan apa saja yang dijual di dalam toko tersebut.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencatat dua definisi “mas”; (1) emas, (2) kata sapaan untuk saudara laki-laki atau laki-laki yang dianggap lebih tua (dari Bahasa Jawa). Ya, KBBI memasukkan “mas” di dalam entri mereka, namun definisi “emas” lebih jelas lagi, “logam mulia berwarna kuning yang dapat ditempa dan dibentuk.” Ini mengindikasikan bahwa posisi kata “emas” menjadi resmi karena rujukan kata “mas” pun diarahkan ke kata tersebut.
Oh, mungkin kami memang salah tangkap, ternyata itu
cuma toko kelontong milik Mas Hin Hoa.
Kasusnya mirip dengan “rumah di Jual” barusan. Kali ini penulis pengumuman hanya ingin menerangkan bahwa “[Restoran] Bebek Monggo di Butuhkan”. Ada yang sudah pernah ke sana?
konsistensi dibutuhkan dalam berbahasa. Pengumuman ini tidak mencerminkan konsistensi tersebut. Hal yang sering terjadi saat Anda menulis kata-kata yang berasal dari Bahasa Arab. Mau pakai bahasa Indonesia atau Arab?
“Sholat Iedul Adha” tidak tepat untuk digunakan di
ragam formal Bahasa Indonesia. Kata “sholat” seharusnya ditulis “salat”,
sementara “Iedul Adha” memiliki bentuk formal Bahasa Indonesia, “Iduladha”;
bahkan KBBI menggabungkan kedua kata tersebut. Begitu pun kata “khotib” yang di
bahasa Indonesia menjadi “khatib” dan “Jum’at” yang seharusnya “Jumat”.
Sudah beres? Belum. “Musholla” seharusnya jadi
“Musala”.
Siapa gerangan yang menulis pengumuman ini? Orang
Arab yang sedang belajar bahasa Indonesia-kah?
Catatan: penggunaan tanda bacanya juga berlebihan.
Ah, jangan sampai penyunting bahasa kami di sini tahu apa yang terjadi di sana.
Seseorang membuka usaha percetakan dan sablon di daerah Salemba. Sablonnya bisa
diaplikasikan di berbagai media. Spanduk, kaos, dan topi bisa. Begitu juga
"mug". Pengusaha sablon ini terlalu malas untuk menerjemahkan kata
itu jadi bahasa Indonesia ternyata, “gelas”.
Tak sampai di situ. Pengusaha sablon ini juga
bergaya bahasa ala bule, “lebel”. Padahal pengguna bahasa Inggris pun
menuliskannya dengan “label”, sama seperti yang ada di KBBI.
Tanda hubung sepatutnya ditempelkan langsung pada kata-katanya, sehingga seharusnya tertulis “Hati-hati”. Pengumuman resmi Jasa Raharja dan PT Kereta Api ini malah memisahkannya. Fungsi tanda hubung adalah untuk menghubungkan dua kata atau memisahkan suku kata.
“Bersih, Murah, Rapih”, begitu janji pengusaha pencuci baju ini. Sayangnya slogan menarik tersebut tidak diimbangi dengan kesadaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Andai saja dia mengecek KBBI terlebih dahulu, dia akan tahu kalau “rapih” merupakan ragam nonformal, sementara KBBI mencatat “rapi” sebagai entrinya.
Gambar di atas menunjukkan kesalahan tersebut.
Manakah di antara PHOTOCOPY, PHOTO COPY, FOTOCOPY, atau FOTOKOPI yang
penulisannya sesuai dengan ejaan dalam bahasa Inggris? Ejaan yang benar dalam
bahasa Inggris adalah PHOTOCOPY, kemudian kata tersebut diadaptasi ke dalam
bahasa Indonesia dengan ejaan FOTOKOPI.
Mana yang benar: STANDART, STANDARD, atau STANDAR?
Ejaan yang benar dalam bahasa Inggris adalah STANDARD, kemudian kata tersebut
diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia dengan ejaan STANDAR.
Mempelajari
dan menguasai bahasa asing, terutama bahasa Inggris, tidak ada salahnya. Namun,
pelajari dan kuasailah dengan cara yang benar. Yang tidak kalah penting,
penggunaan bahasa tersebut sebaiknya tidak dicampuradukkan dengan bahasa
Indonesia, yang akhirnya justru merusak kaidah berbahasa. Apalagi sampai membikin
aturan sendiri-sendiri. Ujung-ujungnya bukan terlihat lebih gagah dan modern,
tetapi justru membingungkan pembaca atau pendengar. Bahkan yang lebih parah
adalah menjadi bahan tertawaan.
Bahasa
Indonesia adalah milik bangsa Indonesia. Lantas, siapa yang harus mencintai,
membanggakan, membesarkan, dan melestarikan bahasa Indonesia? Relakah jika
identitas bangsa itu diambil bangsa lain atau justru kemudian punah? Kita telah
bersumpah untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Sungguh
tak pantas bila sebuah bangsa yang sudah memiliki bahasa sebagai identitas dan
jati diri bangsanya, yang sudah disepakati bersama dalam ikrar Sumpah Pemuda,
lantas mengabaikan bahkan mengkhianati begitu saja sesuatu yang telah
diikrarkan itu. Untuk itu, siapa pun yang masih merasa menjadi bangsa Indonesia
mesti merenungkan untuk mencari solusi terbaik demi terjaganya keberadaan dan
kelestarian bahasa Indonesia. Mari kita berusaha menjunjung tinggi bahasa
persatuan, Bahasa Indonesia. (Raden Kusdaryoko Tjokrosutiksno)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan data yang dianalisis di atas, kesalahan
ejaan dan kalimat tampak seperti hal yang lumrah terjadi bukan hanya di
tempat-tempat umum, melainkan juga di lembaga pendidikan seperti
universitas. Data di atas hanya sebagian kecil dari begitu banyaknya kesalahan
yang terdapat di Universitas Syiah Kuala. Kesalahan berbahasa terjadi secara
sistematis kerena belum dikuasainya sistem kaidah bahasa yang bersangkutan. Kesalahan
ejaan umumnya mencakup kesalahan tanda baca, kesalahan penggunaan kata baku,
dan kesalahan prefiks. Sedangkan kesalahan kalimat mencakup kesalahan
struktur dan kesalahan prinsip pemilihan kata.
Kesalahan-kesalahan akan terlihat jelas apabila kita menganalisis dan
mengembalikannya atau mengacu pada sistem kaidah yang berlaku. Berbahasa tidak
hanya terhenti pada aspek makna (pokoknya dimengerti). Namun, sebagai bahasa
ilmu, aspek gramatikal merupakan suatu hal yang tidak boleh dikesampingkan.jadi,
setiap kalimat yang dibangun harus memenuhi syarat gramatikal.
B. Saran
Berdasarkan penelitian ini, perlu adanya peningkatan pemahaman penulisan yang
sesuai dengan kaidah EYD pada media ruang di Unsyiah. Sebagai instansi
pendidikan yang berfungsi sebagai sarana transfer ilmu yang baik dan benar,
seharusnya kesalahan-kesalahan seperti di atas harus diminimalisir agar
terciptanya ragam kebahasaan yang efektif, mudah dipahami, dan benar dilihat
dari struktur serta ejaannya
DAFTAR PUSTAKA
lestari. 2013.Analisis
kesalahan ejaan dan kalimat pada ruang media di unsiyah. Diambil dari : http://lestarisari.blogspot.co.id/2013/05/makalah-bahasa-indonesia-analisis.html(10
April 2016)
Imaji.2014.Bangga berbahasa
Indonesia.Diambil dari:http://bahasaindonesia-ku.blogspot.co.id/2014/06/bangga-berbahasa-indonesia_13.html(10
April 2016)
Ruslan.2012 Inilah kesalahan
berbahasa di tempat publik.Diambil dari:http://aptudetnyus.blogspot.co.id/2012/11/foto-inilah-kesalahan-berbahasa.html