Jumat, 17 Juni 2016

MEMOTRET KESALAHAN BAHASA PADA RUANG PUBLIK

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

   Penggunaan bahasa yang benar menurut kaidah EYD merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam hal tulis-menulis. Pemilihan kata berhubungan erat dengan kaidah sintaksis, kaidah makna, kaidah hubungan sosial, dan kaidah mengarang. Kaidah-kaidah ini saling mendukung sehingga tulisan menjadi lebih berstruktur dan bernilai serta lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh orang lain. Namun pada kenyataannya, masih banyak kesalahan pada penggunaan bahasa yang disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap hakikat penggunaan bahasa yang benar menurut EYD. Kesalahan – kesalahan tersebut meliputi kesalahan ejaan dan kesalahan penggunaan kalimat. Kesalahan penggunaan ejaan maupun kalimat dapat ditemukan di berbagai media cetak, seperti undangan, spanduk, surat dinas, majalah, dan juga selebaran iklan ataupun pengumuman yang sering ditempelkan di berbagai tempat. Pada penulisan makalah ini, penulis memberi perhatian lebih terhadap kesalahan ejaan dan kesalahan kalimat pada media ruang yang terdapat di ruang publik.

            Dengan latar belakang masalah tersebut, penulis mencoba untuk mengamati kesalahan penggunaan bahasa Indonesia khususnya pada media di ruang publik. Pada penelitian ini, penulis akan meneliti lebih dalam mengenai kesalahan penggunaan ejaan dan kesalahan penggunaan struktur kalimat dengan memotret dan mengkoreksi kesalahan tersebut. Berdasarkan kenyataan di atas, judul makalah ini adalah, “Memotret  Kesalahan bahasa pada ruang publik”.


B.   Masalah

Berdasarkan latar belakang  di atas, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)    Bagaimanakah kesalahan ejaan pada ruang publik?
2)    Bagaimanakah kesalahan kalimat pada ruang publik?
C.   Tujuan

Tujuan – tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1)    Mendeskripsikan kesalahan ejaan pada ruang publik;
2)    Mendeskripsikan kesalahan kalimat pada ruang publik.


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Materi Kasus

          Salah satu butir Sumpah Pemuda menyebutkan bahwa para pemuda Indonesia “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Dengan demikian, sejak 85 tahun yang lalu bahasa Indonesia telah menjadi satu-satunya bahasa yang diharapkan mampu mempersatukan berbagai macam suku bangsa di negara ini, yang masing-masing memiliki bahasa daerah yang beragam. Dampaknya sungguh luar biasa! Para pemuda dari berbagai daerah dapat membulatkan tekat dengan satu bahasa untuk berjuang meraih kemerdekaan.
         Selanjutnya bahasa Indonesia tidak hanya berperan menjadi bahasa persatuan, namun kemudian berkembang menjadi bahasa negara, bahasa nasional, maupun bahasa resmi. Bahkan bahasa Indonesia kemudian berhasil mendudukkan dirinya menjadi bahasa budaya dan bahasa ilmu ilmu pengetahuan. Dengan begitu, bahasa Indonesia memiliki makna dan peran penting bagi bangsa Indonesia.
          Berdasarkan kenyataan yang demikian, pastinya kita sebagai bangsa Indonesia pantas (bahkan wajib) bangga telah memiliki bahasa Indonesia. Apalagi bila kita melihat kenyataan yang ada, masih banyak bangsa atau negara yang tidak memiliki bahasa nasionalnya sendiri sebagai bahasa yang resmi digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
          Negara Singapura dan Brunei Darussalam menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi. Australia, Selandia Baru, dan Papua Nugini menggunakan bahasa Inggris. Austria berbahasa resmi bahasa Jerman. Belgia sampai saat ini menggunakan dua bahasa resmi, yaitu bahasa Prancis dan bahasa Belanda, yang keduanya bukan bahasa asli mereka. Swiss bahkan “terpaksa” menggunakan empat bahasa sekaligus, yaitu bahasa Jerman, Prancis, Inggris, dan Roma, yang keempatnya juga bukan bahasa sendiri. Sedangkan Kanada menetapkan dua bahasa resmi, yaitu bahasa Inggris dan Prancis, yang keduanya bukan pula bahasa mereka. Bahkan Amerika Serikat yang merupakan negara adikuasa, juga tidak mempunyai bahasa sendiri untuk dijadikan bahasa nasional maupun bahasa resmi. Negara ini menggunakan bahasa Inggris dan Spanyol (Sumber: Negara dan Bangsa, Grolier International 1999).
          Dengan memiliki bahasa sendiri sebagai bahasa nasional, seharusnya bangsa Indonesia bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Sudahkah bangsa ini bangga dengan bahasanya sendiri? Kenyataan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tidaklah demikian. Rasa cinta dan bangga terhadap bahasa Indonesia belum tertanam kuat pada setiap insan Indonesia. Simak saja perlakuan siswa di sekolah terhadap pelajaran bahasa. Sebagian dari mereka tentu lebih mengutamakan mempelajari bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia.

          Barangkali bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang tidak perlu dipelajari karena sebagai bahasa sendiri, bahasa Indonesia sudah pasti mampu dikuasai tanpa harus dengan serius belajar. Dalam kegiatan diskusi keilmuan pun demikian, sering dijumpai pembicara yang lebih banyak menggunakan istilah asing daripada istilah dalam bahasa Indonesia. Barangkali mereka menganggap bahwa bahasa asing lebih tinggi derajatnya daripada bahasa Indonesia. Atau bisa juga bahasa Indonesia dianggap kurang ilmiah dan kurang intelek dibandingkan dengan bahasa asing. Kenyataannya, hampir seluruh lapisan masyarakat seolah berlomba-lomba menggunakan istilah-istilah dari bahasa Inggris, meski sebetulnya istilah bahasa Inggris yang mereka gunakan tidak beraturan.
         Maraknya penggunaan bahasa asing dalam masyarakat sesungguhnya tidak lepas dari pandangan sebagian masyarakat yang menganggap bahasa asing memiliki gengsi lebih tinggi dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Dengan menggunakan bahasa Inggris, pembicara atau pemakai bahasa dianggap terlihat lebih gagah, modern, dan terdidik. Hanya saja tidak jarang pemakai bahasa tersebut tidak paham betul dengan kosa ataupun ejaan kata asing (Inggris) yang dipakai. Bagi mereka yang penting terlihat gagah karena telah menggunakan bahasa asing (Inggris). Karena itulah, mereka tak lagi memperhatikan aturan penulisan ejaan maupun pengucapannya.
Kesadaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar sangat dibutuhkan terutama saat menggunakannya di ruang publik. Sebuah papan peringatan atau penanda tertentu harus mematuhi kaidah bahasa, karena ia tidak berhadapan dengan suatu kelompok spesifik yang menuntut konvensi berbeda, misalnya; bahasa nonformal/tak resmi seperti ke sesama teman.

B.   Potret kasus
Kami menemukan beberapa penerapan bahasa Indonesia yang tidak sesuai kaidah di ruang publik; yang seharusnya menjadi tempat penerapan kaidah Bahasa Indonesia sesuai Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Berikut contoh-contoh kesalahan berbahasa pada ruang publik :




Pemilik sebuah rumah di Utan Kayu, Jakarta memasang pengumuman ini. Dalam kaidah EYD, penggunaan kata “di” yang dipisah berfungsi sebagai preposisi (kata depan) yang menerangkan [biasa] tempat atau waktu; “di tengah hari”, “di Jakarta”, “di rumah”.
Penggunaan kata “di” banyak ‘dikacaukan’ karena mereka menganggap fungsinya sama saja. Pada kasus ini, “Di Jual” seharusnya ditulis bersambung, “dijual”, karena maksudnya sebagai prefiks/awalan pasif demi menerangkan bahwa “rumah tersebut dijual”.

Bisa dibayangkan kalau ada benar-benar tempat bernama “Jual”, lalu Anda menyangka “rumah orang ini di Jual.” “Oh, kami tahu sekarang rumahnya di mana.” 






Kata “mas” di toko tersebut masih berada pada ragam nonformal. Sebaiknya kata “emas” lebih tepat digunakan untuk menerangkan apa saja yang dijual di dalam toko tersebut.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencatat dua definisi “mas”; (1) emas, (2) kata sapaan untuk saudara laki-laki atau laki-laki yang dianggap lebih tua (dari Bahasa Jawa). Ya, KBBI memasukkan “mas” di dalam entri mereka, namun definisi “emas” lebih jelas lagi, “logam mulia berwarna kuning yang dapat ditempa dan dibentuk.” Ini mengindikasikan bahwa posisi kata “emas” menjadi resmi karena rujukan kata “mas” pun diarahkan ke kata tersebut.
Oh, mungkin kami memang salah tangkap, ternyata itu cuma toko kelontong milik Mas Hin Hoa. 



Kasusnya mirip dengan “rumah di Jual” barusan. Kali ini penulis pengumuman hanya ingin menerangkan bahwa “[Restoran] Bebek Monggo di Butuhkan”. Ada yang sudah pernah ke sana?




konsistensi dibutuhkan dalam berbahasa. Pengumuman ini tidak mencerminkan konsistensi tersebut. Hal yang sering terjadi saat Anda menulis kata-kata yang berasal dari Bahasa Arab. Mau pakai bahasa Indonesia atau Arab?
“Sholat Iedul Adha” tidak tepat untuk digunakan di ragam formal Bahasa Indonesia. Kata “sholat” seharusnya ditulis “salat”, sementara “Iedul Adha” memiliki bentuk formal Bahasa Indonesia, “Iduladha”; bahkan KBBI menggabungkan kedua kata tersebut. Begitu pun kata “khotib” yang di bahasa Indonesia menjadi “khatib” dan “Jum’at” yang seharusnya “Jumat”.
Sudah beres? Belum. “Musholla” seharusnya jadi “Musala”.
Siapa gerangan yang menulis pengumuman ini? Orang Arab yang sedang belajar bahasa Indonesia-kah?
Catatan: penggunaan tanda bacanya juga berlebihan. Ah, jangan sampai penyunting bahasa kami di sini tahu apa yang terjadi di sana.



Seseorang membuka usaha percetakan dan sablon di daerah Salemba. Sablonnya bisa diaplikasikan di berbagai media. Spanduk, kaos, dan topi bisa. Begitu juga "mug". Pengusaha sablon ini terlalu malas untuk menerjemahkan kata itu jadi bahasa Indonesia ternyata, “gelas”.
Tak sampai di situ. Pengusaha sablon ini juga bergaya bahasa ala bule, “lebel”. Padahal pengguna bahasa Inggris pun menuliskannya dengan “label”, sama seperti yang ada di KBBI.


    Tanda hubung sepatutnya ditempelkan langsung pada kata-katanya, sehingga seharusnya tertulis “Hati-hati”. Pengumuman resmi Jasa Raharja dan PT Kereta Api ini malah memisahkannya. Fungsi tanda hubung adalah untuk menghubungkan dua kata atau memisahkan suku kata.



“Bersih, Murah, Rapih”, begitu janji pengusaha pencuci baju ini. Sayangnya slogan menarik tersebut tidak diimbangi dengan kesadaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Andai saja dia mengecek KBBI terlebih dahulu, dia akan tahu kalau “rapih” merupakan ragam nonformal, sementara KBBI mencatat “rapi” sebagai entrinya.



Gambar di atas menunjukkan kesalahan tersebut. Manakah di antara PHOTOCOPY, PHOTO COPY, FOTOCOPY, atau FOTOKOPI yang penulisannya sesuai dengan ejaan dalam bahasa Inggris? Ejaan yang benar dalam bahasa Inggris adalah PHOTOCOPY, kemudian kata tersebut diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia dengan ejaan FOTOKOPI.


Mana yang benar: STANDART, STANDARD, atau STANDAR? Ejaan yang benar dalam bahasa Inggris adalah STANDARD, kemudian kata tersebut diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia dengan ejaan STANDAR.

          Mempelajari dan menguasai bahasa asing, terutama bahasa Inggris, tidak ada salahnya. Namun, pelajari dan kuasailah dengan cara yang benar. Yang tidak kalah penting, penggunaan bahasa tersebut sebaiknya tidak dicampuradukkan dengan bahasa Indonesia, yang akhirnya justru merusak kaidah berbahasa. Apalagi sampai membikin aturan sendiri-sendiri. Ujung-ujungnya bukan terlihat lebih gagah dan modern, tetapi justru membingungkan pembaca atau pendengar. Bahkan yang lebih parah adalah menjadi bahan tertawaan.
          Bahasa Indonesia adalah milik bangsa Indonesia. Lantas, siapa yang harus mencintai, membanggakan, membesarkan, dan melestarikan bahasa Indonesia? Relakah jika identitas bangsa itu diambil bangsa lain atau justru kemudian punah? Kita telah bersumpah untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
          Sungguh tak pantas bila sebuah bangsa yang sudah memiliki bahasa sebagai identitas dan jati diri bangsanya, yang sudah disepakati bersama dalam ikrar Sumpah Pemuda, lantas mengabaikan bahkan mengkhianati begitu saja sesuatu yang telah diikrarkan itu. Untuk itu, siapa pun yang masih merasa menjadi bangsa Indonesia mesti merenungkan untuk mencari solusi terbaik demi terjaganya keberadaan dan kelestarian bahasa Indonesia. Mari kita berusaha menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. (Raden Kusdaryoko Tjokrosutiksno)




BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan

              Berdasarkan data yang dianalisis di atas, kesalahan ejaan dan kalimat tampak seperti hal yang lumrah terjadi bukan hanya di tempat-tempat  umum, melainkan juga di lembaga pendidikan seperti universitas. Data di atas hanya sebagian kecil dari begitu banyaknya kesalahan yang terdapat di Universitas Syiah Kuala. Kesalahan berbahasa terjadi secara sistematis kerena belum dikuasainya sistem kaidah bahasa yang bersangkutan. Kesalahan ejaan umumnya mencakup kesalahan tanda baca, kesalahan penggunaan kata baku, dan  kesalahan prefiks. Sedangkan kesalahan kalimat mencakup kesalahan struktur dan kesalahan prinsip pemilihan kata.
              Kesalahan-kesalahan akan terlihat jelas apabila kita menganalisis dan mengembalikannya atau mengacu pada sistem kaidah yang berlaku. Berbahasa tidak hanya terhenti pada aspek makna (pokoknya dimengerti). Namun, sebagai bahasa ilmu, aspek gramatikal merupakan suatu hal yang tidak boleh dikesampingkan.jadi, setiap kalimat yang dibangun harus memenuhi syarat gramatikal.

B.   Saran
              Berdasarkan penelitian ini, perlu adanya peningkatan pemahaman penulisan yang sesuai dengan kaidah EYD pada media ruang di Unsyiah. Sebagai instansi pendidikan yang berfungsi sebagai sarana transfer ilmu yang baik dan benar, seharusnya kesalahan-kesalahan seperti di atas harus diminimalisir agar terciptanya ragam kebahasaan yang efektif, mudah dipahami, dan benar dilihat dari struktur serta ejaannya










DAFTAR PUSTAKA

lestari. 2013.Analisis kesalahan ejaan dan kalimat pada ruang media di unsiyah. Diambil dari : http://lestarisari.blogspot.co.id/2013/05/makalah-bahasa-indonesia-analisis.html(10 April 2016)

Imaji.2014.Bangga berbahasa Indonesia.Diambil dari:http://bahasaindonesia-ku.blogspot.co.id/2014/06/bangga-berbahasa-indonesia_13.html(10 April 2016)


Ruslan.2012 Inilah kesalahan berbahasa di tempat publik.Diambil dari:http://aptudetnyus.blogspot.co.id/2012/11/foto-inilah-kesalahan-berbahasa.html